Jika Allah bermaksud membuka mata hati seorang hamba, maka Dia akan membuatnya sibuk melayani-Nya dalam berbagai urusan lahiriah dan mencintai-Nya dalam berbagai urusan batiniah. Mengimani Allah berarti mencintai-Nya. Kenikmatan iman dimaksudkan untuk mendidik hati dan mengetahui alam gaib. Buah yang diharapkan dari iman adalah jiwa dermawan, hati yang tenang, dan pekerti yang baik kepada makhluk.
Dan salah satu "kebiasaan" Allah adalah menyesuaikan jalan keluar sebanding dengan kesulitan: seberat kefakiran, sebesar itu pula kekayaan; seukuran kehinaan, seukuran itu pula keagungan; seukuran kesulitan, seukuran itu pula kemudahan. Islam menganjurkan manusia untuk kembali kepada Allah dalam segala hal, bergantung kepada-Nya dalam setiap keadaan, lebur dalam Allah dari segala hal, beroleh petunjuk Allah dalam segala hal, dan berilmu luas.
Sungguh, ketika Allah ingin menyampaikan sang hamba kepada-Nya, Dia "menghadapi" hamba-Nya pertama kali dengan cahaya manisnya amalan lahiriah, yakni maqam Islam. Sesudah ia beroleh petunjuk untuk beramal, bersungguh-sungguh di dalamnya, dan merasakan rasa manisnya, Dia menghadapinya dengan cahaya manisnya amalan batiniah, yakni maqam iman, yang meliputi ikhlas, jujur, tenang, betah dengan Allah, dan sebagainya-ringkasnya, sang hamba "lebih dekat kepada Allah."
Dan nikmat agama paling besar yang sangat perlu disyukuri adalah nikmat Islam, iman, dan makrifat. Mensyukurinya adalah meyakini bahwa nikmat itu adalah anugerah dari Allah tanpa perantara, tanpa daya, dan tanpa kekuatan. Allah berfirman: Tetapi Allah membuatmu cinta pada keimanan dan menjadikan iman indah dalam hatimu serta menjadikanmu benci kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan (QS 49:7). Kemudian Dia berfirman: Sebagai karunia dan nikmat Allah (QS 49:9).